Mereview
kembali file per file, rekaman per
rekaman di brankas data. Barangkali ada file yang sudah harus dipindahkan ke
keranjang si recycle.
Mata tertuju kejadian tahun 2010 lalu, file yang kunamai “LAGIIIIII”. Dahi
mengernyit seketika mengingat nama file ini seperti memutar memory pilu di
otakku. Saat kuambil gambar itu, seorang ibu beserta anak perempuannya yang
sedang menggendong bayi ditendang di depan mata, dipukuli balok kayu oleh
beberapa pria. Tendangan itu kunamai tendangan Jet Lee, si aktor kungfu
shaolin. Sebab tendangan itu diarahkan dengan penuh tekanan “terbang” layaknya
seorang aktor kungfu yang membuat sang ibu terjerambab tak berdaya.
capture video tendangan Jet Lee, dok 18 Mei 2010 |
Nama "lagiiiiii" di master video itu bukan karena “asal” saat memindai
rekaman dari handycam ke laptop, tapi karena peristiwa berulang. Ya, penganiayaan
di depan mata ini terjadi hanya berselang sehari setelah insiden pembantaian satu
keluarga di desa Sitanggor kecamatan Muara menewaskan sepasang suami istri
serta anak laki-lakinya. Mereka dibakar hidup-hidup. Desa itu kini hanya
dihuni kaum wanita sebab pria di kampung ini menjadi terpidana atas kasus
pembantaian itu. Pembantaian dan penganiayan di dua kecamatan ini terjadi
karena issu kepemilikan “begu ganjang” santet red
Lokasinya tepat di Jalinsum, tanggal 18 Mei 2010 lalu di desa Hutauruk kecamatan
Sipoholon, Tapanuli Utara, sekitar 7 jam perjalanan dari Medan. Jarak Sipoholon
dengan Muara ditempuh 30 menit, tapi karena termasuk daerah terisolir, wilayah
ini sulit dijangkau transportasi
Ironisnya kejadian yang sempat menjadi issu nasional waktu itu hanya berselang
15 menit setelah warga desa Hutauruk rapat bersama muspika setempat membahas
rencana pengusiran empat keluarga atas tuduhan pemelihara “begu ganjang”. Di tanah
Batak istilah begu ganjang lebih dikenal dibanding santet. Walaupun empat keluarga ini lolos dari maut, tapi sang ibu sempat dirawat berhari-hari di rumah sakit setempat
Jika saja judul besar salah satu koran ternama terbitan Medan tak menyebut “Tiga Orang Tewas Dibakar Hidup-Hidup” sebagai
headline berita pembantaian di desa Sitanggor, mungkin penganiayaan dan
pengrusakan di depan mata ini masih bisa dihindari. Mungkin saja pelajar tetap bersekolah, tidak mendekam di balik jeruji besi
akibat termakan propaganda. Masih terdengar di rekaman saat penyidik memeriksa
29 orang laki-laki di desa ini. Mereka menganggap “terlalu sabar” menghadapi
keluarga tertuduh pemelihara begu ganjang. “Bacalah koran, di Muara saja sampek
dibakar”….kata seorang pelaku seolah membenarkan tindakannya pada penyidik….#alamak… pinjam
istilah TPU http://linovarifianty.wordpress.com/)
Ada kalanya berita yang bertujuan mengundang simpatik malah berperan
sebagai akar musibah. Dampak sebuh pemberitaan harusnya “diplanning” sebelum
akhirnya menjadi milik atau konsumsi publik. Yahhh tepatnya mempertimbangkan dampak
psikologis berita atas satu issu dalam sebuah kultur dan sosial
kemasyarakatan di sekitar lokasi kejadian atau wilayah yang sedang menghadapi
masalah yang sama
Seorang jurnalis maupun media tidak hanya memberitakan, tapi juga mengamati,
mempertimbangkan serta harus memiliki kepekaan memprediksi kejadian walau bukan peramal. Harusnya ini
dibekali baik di daerah berkomunitas “homogen atau heterogen.” Rasanya terlalu jauh jika menyadur pendapat James Neil atau Suzanne S. Brown tentang kritikannya berita baru ada jika ada peristiwa. Para jurnalis senior tanah air pasti sepakat bahwa kondisi, situasi dan inprestasi adalah juga berita. “Berita tak harus menunggu peristiwa”
Dan dampak pemberitaan dari suatu peristiwa apalagi dengan kondisi kultur
dan jarak yang masih berdekatan juga diperhitungkan. Apalagi surat kabar “yyyy”
yang disebutkan pelaku pada penyidik adalah koran rujukan warga di daerah tempatku
bertugas tiga tahun lalu
Menjadi wartawan harus belajar banyak tentang psikologi massa, sayangnya
memang ilmu ini tidak kudapat di bangku kuliah, seperti mata kuliah urban
planning yang kupelajari dulu. Psikologi massa dilatih di “lapangan” berdasarkan
pengamatan tingkah polah sekelompok orang diakibatkan factor X sehingga memicu
tindakan Y
D’Insomnier, Kamar Diam 30 Juli 2013
2 komentar:
good report,
sungguh sudah hilang hati nurani, sehinga tidak ada lagi "Love" yg bisa ditawarkan.
sungguh buta hati nurani, sehingga tiada ada keramahan.
semua masalah dapat dibicarakan, karena itu lebih menunjukan kedewasaan.
MATIKAN saja perasaan jika tidak lagi digunakan.
from Jakarta with "LOVE"
@ismail lubis: makasih atas atensinya bang
Posting Komentar