Setitik Jejak Pena

gerututinta…

Sebut saja itu nama halaman ini, si penerus tahta singgasana dari blog sebelumnya. Leluhurnya bergelar CERUTUTIUP tutup usia terbunuh racun venomoria diretas para pemukim dunia maya.

Foto profil si penggerutu tinta sengaja tidak dipasang, bukan karena kehilangan identitas akibat wafatnya si cerututiup, tapi karena terlalu banyak julukan dari para shohib.

Yah…perkenalkan, sebagian shohib memanggilku Tulus, ada juga menyebut Almaidany, sebagian lagi memanggilku Uut. Nama belakangku Lubis, marga sekaligus identitas penting. Karena bukan sedang sensus, nomor KTP/ SIM atau passpor nampaknya tidak layak dicantumkan di sini :) yang pasti nama asli terselip pada nama halaman ini, so…terserah memanggil nama yang mana yang penting halal :)

Jumat, 11 April 2014

Belenggu Titah tak Terbantahkan

Di sudut itu…suara parau menyertai keresahan. Tertutur rapi, diungkap dari lisan/ membenamkan segenap ufuk terik mentari kala itu. Membelah ruang benak, menjatuhkan nama di jurang terbawah yang pernah kutau. Bahasa sayup membunuh sejenak helai nafas yang baru terlahir, dan engkau masih tak sadar langkah itu terseok dan tersudut
*****
Tujuh belas tahun lalu, tak kusam di ingatan. Padahal upaya menguburnya lebih dalam telah dilalui di perjalanan maya dan nyata. Adakah sejemput sesal disana, bahwa aliran darah ini tidak bersalah seiring titah-titahmu, wahai muaraku yang tertindas?
****
Masih saja luapan titahmu di atas, dan yang terpersalah lalu terpuruk takkan pernah dianggap. Mungkin zaman dan waktu tak mengingatkanmu. Di sudut sana jejak kaki memanjang, menjaluri dimensi hipnosi. Sulit mengartikan utusanmu, agar segera memulai kisah baru, melengkapi asamu kelak
*****
Tapi segenapmu belum tersadar, bangun dari lelap pikiranmu sendiri. Semoga saja angin tidak jauh membawa pelarian.
*****
Jika saja terangkai catatan di kedalaman sana, bahwa racun terdahulu cukup mengganas, mematikan syaraf-syaraf yang baru akan muncul. Dan kemarin engkau kembali menitahkan bisa racun, di atas istana perintahmu
*****
Sungguh, bukan tak ingin melepas sekat, bukan enggan membuka hati, atau karena harus merajut luka. Aku hanya ingin meyakinkan, bahwa besok engkau dan dulumu, mereka dan kami yang terkubur karena praharamu dulu, tidak akan kembali ke depanku….

Kamis, 03 April 2014

Dialog Jiwa pada Raga


Raga, tiga hari berlalu murkamu belum mereda. Kau tak jua bergeming saat kuajak beritirahat. Makanan yang kuberi pun kau tolak mentah mentah. Kau seolah berkata "semuanya terlambat"
Raga, aku salah tidak berbuat adil padamu. Sering memerintahkanmu, memaksa bekerja saat kau lelah. Tak memberimu makan saat kau lapar, sadar hanya menuruti dahaga, namun membasahimu dengan bekuan es yang tidak kau inginkan
Raga, aku terlalu sering berbuat zalim padamu, tidak membersihkanmu dari rizki yang kurang halal, membiarkanmu menghirup kepulan asap racun tembakau, membiarkanmu kehujanan tanpa menghiraukan dingin dan laparmu, juga kerap tak melelapkanmu dalam selimut malam
Raga, padamkanlah api yang membakar helai nafasku, aku salah sering mengabaikanmu di saat kau ingin berbakti pada Yang Maha Kuasa, sering melalaikan bahwa kita satu, kau raga dan aku jiwa…dan kita dinamakan tubuh yang hidup jika aku tidak hanya menuruti keinginan si batin
Raga, semoga tak terlambat menyadari, hasil dari memaksamu bekerja ternyata tidak dapat kunikmati di tengah kemurkaanmu…
Suara jiwa kepada raga...Allohumassffii

Kamar putih 3 April 2014


Rabu, 15 Januari 2014

MENGEJA ISYARAT MALAM

Sejenak memandang bebintang di langit. Berharap sapaannya di antara kebekuan hati dan kesemuan benak, berharap terang di antara gelapnya derap,  berharap kemulusan di antara bebatuan.
Cobalah menuangkannya menjadi seutas pesan atau biarkan saja dia pergi bersama dawai malam lalu menangkap senja.
Tidak mudah melenyapkan lebaran aksara yang seolah enggan terlahir menjadi kata singkat. Tapi itulah yang terdengar dari bisikan sayup, di kedalaman sana. Yang ingin beranjak dari jejaring kehuntuannya namun urung karena tersendak pada dimensi ambigu
Ah…kamu terlalu banyak mengeluhkan letih, kuyup dan sayu yang sama dengan mereka yang teretas dengan keputus asaannya. Bukankah kemarin jemarimu melukis kegetiran kan terasa manis saat kau menyeduhnya dengan ombak semangat?
Sungguh mematikan terawangan tajam itu merobek helai nafas, padahal belum semua racun bertemu penawarnya. Tanpa sela jemarimu kembali menulis “saat gula terasa pahit”
Ayolah tatap bintang sejenak di sana, meski jauh bukankah kemilaunya menentramkan jiwa???

Warkop jurnalis 15 Januari 2014