Setitik Jejak Pena

gerututinta…

Sebut saja itu nama halaman ini, si penerus tahta singgasana dari blog sebelumnya. Leluhurnya bergelar CERUTUTIUP tutup usia terbunuh racun venomoria diretas para pemukim dunia maya.

Foto profil si penggerutu tinta sengaja tidak dipasang, bukan karena kehilangan identitas akibat wafatnya si cerututiup, tapi karena terlalu banyak julukan dari para shohib.

Yah…perkenalkan, sebagian shohib memanggilku Tulus, ada juga menyebut Almaidany, sebagian lagi memanggilku Uut. Nama belakangku Lubis, marga sekaligus identitas penting. Karena bukan sedang sensus, nomor KTP/ SIM atau passpor nampaknya tidak layak dicantumkan di sini :) yang pasti nama asli terselip pada nama halaman ini, so…terserah memanggil nama yang mana yang penting halal :)

Selasa, 30 Juli 2013

Headline Pemicu Tendangan Jet Lee



Mereview kembali file per file, rekaman per rekaman di brankas data. Barangkali ada file yang sudah harus dipindahkan ke keranjang si recycle.
Mata tertuju kejadian tahun 2010 lalu, file yang kunamai “LAGIIIIII”. Dahi mengernyit seketika mengingat nama file ini seperti memutar memory pilu di otakku. Saat kuambil gambar itu, seorang ibu beserta anak perempuannya yang sedang menggendong bayi ditendang di depan mata, dipukuli balok kayu oleh beberapa pria. Tendangan itu kunamai tendangan Jet Lee, si aktor kungfu shaolin. Sebab tendangan itu diarahkan dengan penuh tekanan “terbang” layaknya seorang aktor kungfu yang membuat sang ibu terjerambab tak berdaya.

capture video tendangan Jet Lee, dok  18 Mei 2010
Nama "lagiiiiii" di master video itu bukan karena “asal” saat memindai rekaman dari handycam ke laptop, tapi karena peristiwa berulang. Ya, penganiayaan di depan mata ini terjadi hanya berselang sehari setelah insiden pembantaian satu keluarga di desa Sitanggor kecamatan Muara menewaskan sepasang suami istri serta anak laki-lakinya. Mereka dibakar hidup-hidup. Desa itu kini hanya dihuni kaum wanita sebab pria di kampung ini menjadi terpidana atas kasus pembantaian itu. Pembantaian dan penganiayan di dua kecamatan ini terjadi karena issu kepemilikan “begu ganjang” santet red
Lokasinya tepat di Jalinsum, tanggal 18 Mei 2010 lalu di desa Hutauruk kecamatan Sipoholon, Tapanuli Utara, sekitar 7 jam perjalanan dari Medan. Jarak Sipoholon dengan Muara ditempuh 30 menit, tapi karena termasuk daerah terisolir, wilayah ini sulit dijangkau transportasi
Ironisnya kejadian yang sempat menjadi issu nasional waktu itu hanya berselang 15 menit setelah warga desa Hutauruk rapat bersama muspika setempat membahas rencana pengusiran empat keluarga atas tuduhan pemelihara “begu ganjang”. Di tanah Batak istilah begu ganjang lebih dikenal dibanding santet. Walaupun empat keluarga ini lolos dari maut, tapi sang ibu sempat dirawat berhari-hari di rumah sakit setempat
Jika saja judul besar salah satu koran ternama terbitan Medan tak menyebut “Tiga Orang Tewas Dibakar Hidup-Hidup” sebagai headline berita pembantaian di desa Sitanggor, mungkin penganiayaan dan pengrusakan di depan mata ini masih bisa dihindari. Mungkin saja pelajar tetap bersekolah, tidak mendekam di balik jeruji besi akibat termakan propaganda. Masih terdengar di rekaman saat penyidik memeriksa 29 orang laki-laki di desa ini. Mereka menganggap “terlalu sabar” menghadapi keluarga tertuduh pemelihara begu ganjang. “Bacalah koran, di Muara saja sampek dibakar”….kata seorang pelaku seolah membenarkan tindakannya pada penyidik….#alamak… pinjam istilah TPU http://linovarifianty.wordpress.com/)
Ada kalanya berita yang bertujuan mengundang simpatik malah berperan sebagai akar musibah. Dampak sebuh pemberitaan harusnya “diplanning” sebelum akhirnya menjadi milik atau konsumsi publik. Yahhh tepatnya mempertimbangkan dampak psikologis berita atas satu issu dalam sebuah kultur dan sosial kemasyarakatan di sekitar lokasi kejadian atau wilayah yang sedang menghadapi masalah yang sama
Seorang jurnalis maupun media tidak hanya memberitakan, tapi juga mengamati, mempertimbangkan serta harus memiliki kepekaan memprediksi kejadian walau bukan peramal. Harusnya ini dibekali baik di daerah berkomunitas “homogen atau heterogen.” Rasanya terlalu jauh jika menyadur pendapat James Neil atau Suzanne S. Brown tentang kritikannya  berita baru ada jika ada peristiwa. Para jurnalis senior tanah air pasti sepakat bahwa kondisi, situasi dan inprestasi adalah juga berita. “Berita tak harus menunggu peristiwa”
Dan dampak pemberitaan dari suatu peristiwa apalagi dengan kondisi kultur dan jarak yang masih berdekatan juga diperhitungkan. Apalagi surat kabar “yyyy” yang disebutkan pelaku pada penyidik adalah koran rujukan warga di daerah tempatku bertugas tiga tahun lalu
Menjadi wartawan harus belajar banyak tentang psikologi massa, sayangnya memang ilmu ini tidak kudapat di bangku kuliah, seperti mata kuliah urban planning yang kupelajari dulu. Psikologi massa dilatih di “lapangan” berdasarkan pengamatan tingkah polah sekelompok orang diakibatkan factor X sehingga memicu tindakan Y

D’Insomnier, Kamar Diam 30 Juli 2013


2 komentar:

000 mengatakan...

good report,
sungguh sudah hilang hati nurani, sehinga tidak ada lagi "Love" yg bisa ditawarkan.

sungguh buta hati nurani, sehingga tiada ada keramahan.

semua masalah dapat dibicarakan, karena itu lebih menunjukan kedewasaan.

MATIKAN saja perasaan jika tidak lagi digunakan.

from Jakarta with "LOVE"

Unknown mengatakan...

@ismail lubis: makasih atas atensinya bang