Setitik Jejak Pena
gerututinta…
Sebut saja itu nama halaman ini, si penerus tahta singgasana dari blog sebelumnya. Leluhurnya bergelar CERUTUTIUP tutup usia terbunuh racun venomoria diretas para pemukim dunia maya.
Foto profil si penggerutu tinta sengaja tidak dipasang, bukan karena kehilangan identitas akibat wafatnya si cerututiup, tapi karena terlalu banyak julukan dari para shohib.
Yah…perkenalkan, sebagian shohib memanggilku Tulus, ada juga menyebut Almaidany, sebagian lagi memanggilku Uut. Nama belakangku Lubis, marga sekaligus identitas penting. Karena bukan sedang sensus, nomor KTP/ SIM atau passpor nampaknya tidak layak dicantumkan di sini :) yang pasti nama asli terselip pada nama halaman ini, so…terserah memanggil nama yang mana yang penting halal :)
Selasa, 30 Juli 2013
Memimpikan Hikayatnya
mencari dua jejak hilang tanpa arah kutembus jua
berharap hikayatnya kutemukan walau segenggam tirus wajah atau seutas rambutnya
agar esok hatiku tidak menuntut,
agar kelak dapat terkisah
nama yang kuhapal
tapi tak kukenal hingga ujung hayatnya dibawa angin ke telingaku
Kerap kubertanya, siapa engkau yang kusanjung, selalu kubawa di ujung namaku
terkadang kuhempas dawai di ujung benak
menumpahkan koloni-koloni dan lingkarannya
tapi tak mampu kubendung saat esok aku ditanya lagi tentang siapa engkau
sejenak kubiarkan darah mengepul nyiur
kutelantarkan di kedalaman lubuk sebungkus keangkuhanku
"Biarlah engkau tak pernah ada"
tapi batin kananku menuntut
ia menolak jejarum kupantulkan di antara derap kaki
sebab mengenalmu adalah keniscayaanku
sebab akupun tak ingin diburu murka
di sudut getir kusebut namamu
ini bukan syair cinta, atau kegalauan tentang sepasang hati
jika saja engkau ada atau pernah berbaur sejak darah kita terpisah
lalu aku menggenggam bara dalam kebutaan yang harusnya engkau tuntun
ditenggalamkan kaummu di tengah padang kerontang
jikalau nisan jawaban akhir jejakmu
akupun masih ingin bertanya
adakah gurat wajahku di antara wajahmu
jika tidak, siapa sepasang pengetua di atasmu
dedicated for M. Syawal Lubis
Headline Pemicu Tendangan Jet Lee
Mereview
kembali file per file, rekaman per
rekaman di brankas data. Barangkali ada file yang sudah harus dipindahkan ke
keranjang si recycle.
Mata tertuju kejadian tahun 2010 lalu, file yang kunamai “LAGIIIIII”. Dahi
mengernyit seketika mengingat nama file ini seperti memutar memory pilu di
otakku. Saat kuambil gambar itu, seorang ibu beserta anak perempuannya yang
sedang menggendong bayi ditendang di depan mata, dipukuli balok kayu oleh
beberapa pria. Tendangan itu kunamai tendangan Jet Lee, si aktor kungfu
shaolin. Sebab tendangan itu diarahkan dengan penuh tekanan “terbang” layaknya
seorang aktor kungfu yang membuat sang ibu terjerambab tak berdaya.
capture video tendangan Jet Lee, dok 18 Mei 2010 |
Nama "lagiiiiii" di master video itu bukan karena “asal” saat memindai
rekaman dari handycam ke laptop, tapi karena peristiwa berulang. Ya, penganiayaan
di depan mata ini terjadi hanya berselang sehari setelah insiden pembantaian satu
keluarga di desa Sitanggor kecamatan Muara menewaskan sepasang suami istri
serta anak laki-lakinya. Mereka dibakar hidup-hidup. Desa itu kini hanya
dihuni kaum wanita sebab pria di kampung ini menjadi terpidana atas kasus
pembantaian itu. Pembantaian dan penganiayan di dua kecamatan ini terjadi
karena issu kepemilikan “begu ganjang” santet red
Lokasinya tepat di Jalinsum, tanggal 18 Mei 2010 lalu di desa Hutauruk kecamatan
Sipoholon, Tapanuli Utara, sekitar 7 jam perjalanan dari Medan. Jarak Sipoholon
dengan Muara ditempuh 30 menit, tapi karena termasuk daerah terisolir, wilayah
ini sulit dijangkau transportasi
Ironisnya kejadian yang sempat menjadi issu nasional waktu itu hanya berselang
15 menit setelah warga desa Hutauruk rapat bersama muspika setempat membahas
rencana pengusiran empat keluarga atas tuduhan pemelihara “begu ganjang”. Di tanah
Batak istilah begu ganjang lebih dikenal dibanding santet. Walaupun empat keluarga ini lolos dari maut, tapi sang ibu sempat dirawat berhari-hari di rumah sakit setempat
Jika saja judul besar salah satu koran ternama terbitan Medan tak menyebut “Tiga Orang Tewas Dibakar Hidup-Hidup” sebagai
headline berita pembantaian di desa Sitanggor, mungkin penganiayaan dan
pengrusakan di depan mata ini masih bisa dihindari. Mungkin saja pelajar tetap bersekolah, tidak mendekam di balik jeruji besi
akibat termakan propaganda. Masih terdengar di rekaman saat penyidik memeriksa
29 orang laki-laki di desa ini. Mereka menganggap “terlalu sabar” menghadapi
keluarga tertuduh pemelihara begu ganjang. “Bacalah koran, di Muara saja sampek
dibakar”….kata seorang pelaku seolah membenarkan tindakannya pada penyidik….#alamak… pinjam
istilah TPU http://linovarifianty.wordpress.com/)
Ada kalanya berita yang bertujuan mengundang simpatik malah berperan
sebagai akar musibah. Dampak sebuh pemberitaan harusnya “diplanning” sebelum
akhirnya menjadi milik atau konsumsi publik. Yahhh tepatnya mempertimbangkan dampak
psikologis berita atas satu issu dalam sebuah kultur dan sosial
kemasyarakatan di sekitar lokasi kejadian atau wilayah yang sedang menghadapi
masalah yang sama
Seorang jurnalis maupun media tidak hanya memberitakan, tapi juga mengamati,
mempertimbangkan serta harus memiliki kepekaan memprediksi kejadian walau bukan peramal. Harusnya ini
dibekali baik di daerah berkomunitas “homogen atau heterogen.” Rasanya terlalu jauh jika menyadur pendapat James Neil atau Suzanne S. Brown tentang kritikannya berita baru ada jika ada peristiwa. Para jurnalis senior tanah air pasti sepakat bahwa kondisi, situasi dan inprestasi adalah juga berita. “Berita tak harus menunggu peristiwa”
Dan dampak pemberitaan dari suatu peristiwa apalagi dengan kondisi kultur
dan jarak yang masih berdekatan juga diperhitungkan. Apalagi surat kabar “yyyy”
yang disebutkan pelaku pada penyidik adalah koran rujukan warga di daerah tempatku
bertugas tiga tahun lalu
Menjadi wartawan harus belajar banyak tentang psikologi massa, sayangnya
memang ilmu ini tidak kudapat di bangku kuliah, seperti mata kuliah urban
planning yang kupelajari dulu. Psikologi massa dilatih di “lapangan” berdasarkan
pengamatan tingkah polah sekelompok orang diakibatkan factor X sehingga memicu
tindakan Y
D’Insomnier, Kamar Diam 30 Juli 2013
Senin, 29 Juli 2013
Semoga Kuala Namu tak 'Dipoloniakan'
Sebagai
warga Sumut, tentu bangga dengan icon baru bandar udara internasional Kuala
Namu yang konon bandara terbesar di Asia Tenggara. Belum sepekan semenjak pengoperasiannya,
kembali kujejakkan kaki untuk ketiga kalinya di
bandara yang
menelan dana 5,5 trilyun rupiah itu
Hampir semua sudut membutuhkan penyempurnaan terutama mengingat musim mudik Lebaran 2013 sedang dimulai. Sebut saja terminal cargo, pos beacukai, tim sar, termasuk instalasi listrik yang belum menjangkau semua tempat tercatat alfa di buku absen. Mungkin bagi sebagian khalayak ini bisa ditolerir. Judulnya saja pindah....
Mirisnya sebelum mulai beroperasi tertanggal 25 Juli lalu, kabar kemegahan Kuala Namu menjadi magnet bagi para pengembang usaha khususnya penggelut property, menyemut membentuk sarang baru tidak jauh dari objek ini. Hitungan kasar saja 20 ribu " musafir langit" meninggalkan jejak pendaratan di sini. So pasti, lahan empuk peluang usaha terbuka lebar tentu menambah deretan atap gubah baru tidak lama lagi
Tidak dipungkiri peningkatan jumlah penumpang meningkat tiap tahun, kisaran angka 4 hingga 5 persen pertahun saat di bandara penduhulunya, apalagi dengan daya tampung Kuala Namu sekarang cukup menggoda bagi maskapai menambah rute baru minimal pertambahan jumlah penerbangan
Tentu juga sepakat jika dengan kelancaran tranportasi ke Medan kota tersibuk di Sumatera maupun kota sekitarnya berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi
Namun jika tata ruang sekitar Kuala Namu dalam lima tahun ke depan sama dengan bandara sebelumnya yang kini menyandang nama baru pangkalan udara Soewondo, tentu saja menjanjikan PR berjudul “merepotkan”. Mudah-mudahan pepohonan penghuni lama eks HGU PTPN II ini tidak diganti keangkuhan gedung-gedung pencakar langit lalu kelak disebut si pengancam keselamatan penerbangan
Hampir semua sudut membutuhkan penyempurnaan terutama mengingat musim mudik Lebaran 2013 sedang dimulai. Sebut saja terminal cargo, pos beacukai, tim sar, termasuk instalasi listrik yang belum menjangkau semua tempat tercatat alfa di buku absen. Mungkin bagi sebagian khalayak ini bisa ditolerir. Judulnya saja pindah....
Mirisnya sebelum mulai beroperasi tertanggal 25 Juli lalu, kabar kemegahan Kuala Namu menjadi magnet bagi para pengembang usaha khususnya penggelut property, menyemut membentuk sarang baru tidak jauh dari objek ini. Hitungan kasar saja 20 ribu " musafir langit" meninggalkan jejak pendaratan di sini. So pasti, lahan empuk peluang usaha terbuka lebar tentu menambah deretan atap gubah baru tidak lama lagi
Tidak dipungkiri peningkatan jumlah penumpang meningkat tiap tahun, kisaran angka 4 hingga 5 persen pertahun saat di bandara penduhulunya, apalagi dengan daya tampung Kuala Namu sekarang cukup menggoda bagi maskapai menambah rute baru minimal pertambahan jumlah penerbangan
Tentu juga sepakat jika dengan kelancaran tranportasi ke Medan kota tersibuk di Sumatera maupun kota sekitarnya berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi
Namun jika tata ruang sekitar Kuala Namu dalam lima tahun ke depan sama dengan bandara sebelumnya yang kini menyandang nama baru pangkalan udara Soewondo, tentu saja menjanjikan PR berjudul “merepotkan”. Mudah-mudahan pepohonan penghuni lama eks HGU PTPN II ini tidak diganti keangkuhan gedung-gedung pencakar langit lalu kelak disebut si pengancam keselamatan penerbangan
Tanggung jawab menjaga dan merawat bagian dalam aset semahal ini tidak hanya dituntut pada publik selaku pengguna sarana, tapi bagian luarnya juga harus
dibungkus oleh tangan-tangan mereka para pemegang kebijakan agar Kuala Namu tak
"Dipoloniakan" 10 atau 20 tahun mendatang.
Semoga keresahan ini tak pernah terjadi......welcome Kuala Namu
Semoga keresahan ini tak pernah terjadi......welcome Kuala Namu
Planolog nyasar/ 29 Juli
Minggu, 28 Juli 2013
Petaka Baru si “Perubahan”
Mengapa harus berubah?
perubahan adalah lorong-lorong
pembelajaran yang bertaut dengan manifestasi prinsip
sebab setiap hari waktu mengajarkan perbedaan yang tidak mungkin disatukan
dengan satu sisi narasi. Berubah bukan
tidak bersiteguh.
Berubah, berpindah,
adalah masa transisi mendalam dari semua pelaksanaan.
Aplikatifkah pengerjaan
yang hanya sekedar ikut-ikutan tanpa menelusuri lebih dalam apa tujuan serta definisinya?,
bukankah ada
perintah tidak menjadi pentaklid buta atau sekedar ikut-ikutan?,
bukankah setiap
perkara ada sejarah yang perlu digali, disilsilahi dan dipilah??
Jika saja semua
wajib menjadi ikutan tentu manusia tak dianugerahi akal. Pemasif akan selalu jadi
pengekor mereka yang aktif. Membebek menuruti jalan si pembawa kafilah namun
tidak jelas asal usul rangkaian perjalanannya
Sungguh, bukan
ingin menjadi bagian kaum rasionalis, penalar awal hingga ujung kehidupan sang Pencipta
Jika masih diijinkan
meminjam istilah, bukankah ada perintah berijtihad sebab tidak semua persoalan
membersamai jawaban di atas patokan dalil
Ibarat alam yang
pasti juga berubah, dari musim ke musim, dari waktu ke waktu tentu itu juga bagian
fitrah dan tak seorang pun mampu membatahnya
Jika merubah
langkah setelah diselimuti keraguan adalah petaka, rasanya masih bisa meminjam “Da’
maa yuribuk ilaa ma laa yuribuk” “tinggalkan apa yang meragukan menuju yang
tidak meragukan”
Hijrah, pindah,
bukan hanya slogan sematan milik partai politik. Atau jika masih bisa meminjam dua
kata “hatta yughoyyir” yang berarti “hingga
merubah” barangkali akan lebih relevan jika dijadikan bahan pertimbangan
berikutnya
Rasanya dalil
tidak pernah diberi pembatasan untuk kaum apapun, jika aku si peminjam kalimat
dan kata di atas memang tidak lagi dalam lingkaran pengiltizamnya
Yunani bukan Roma,
dan Yaman tidak akan pernah menjadi Saudi. sedang matahari selalu berufuk baru
di peredaran tata surya. Dan jika aku tetap berdiri dengan kedua kaki sedang
sekelilingku bergerak, itu artinya aku tenggelam dan aku sendiri, tanpa juluran
tangan ikutanku
Just for “manusia
penghakim”
Loneliness series,
kamar jalang/ 28 Juli 2013
Sabtu, 27 Juli 2013
Nyaman di Rumah Diamku
Mendekam dalam keDIAManku. Bak siput atau si kura tak ingin beranjak
Biarlah anggap saja aku si penyu yang lemah tanpa cangkang rumahnya.
Yang terkurung di
antara baik dan buruk
Tak ada bedanya lagi antara kebungkaman untuk menghindari keburukan atau untuk
memperburuk keadaan
Atau diam untuk menjaga nama keluarga dan diam yg memutus tali saudara
Saat….
Jalanan terasa lebih hangat dari ruangan, saat
Sahabat lebih karib dibanding mereka yang terdekat, saat
Kaki terbelenggu titah tak terbantahkan, saat
Mengungkap kata hati jadi awal perang sedarah, saat
Gejolak amarah tak mampu disekat,
Sebab keDIAManku adalah rumahku
Sebab udara dan air hujan di luar
sana tak lagi menyegarkan
Sebab rumah diamku harus kubawa kemanapun
Sebab bebatuan harus kupikul dipundakku seorang
Sebab rumah diamku menjadi pelindungku
Sebab diamku membuang isi benakku
Biarlah kediamanku memperlambat jalanku
Biarlah berumahkan diamku
Berumahkan diamku
Jumat, 26 Juli 2013
Mengenal Kesempurnaan Sejati
Hidup
memang mengajarkan agar selalu menyempurnakan yang belum sempurna sekalipun tak
akan pernah sempurna.
Bisa
saja hari ini dipandang sempurna, namun tidak untuk besok dan seterusnya, atau bisa
saja hari esok kesempurnaan itu datang tapi terlambat
“Kalau
menunggu kesiapan, mungkin hingga jerawatku tidak lagi tumbuh tetap saja tak
ada kata siap” katamu saat itu beralanalogi yang membuatku tersungging. Bagiku yang
penting apapun yang akhirnya diputuskan pasti melalui pertimbangan, walaupun
tidak kuketahui jenis “timbangan” apa yang engkau gunakan saat itu
“Jauh
dari apa saja yang dibenakku…” sejurus tampak kedua telapak tanganmu mengepalkan kekesalan yang terpendam.
Dan
memang apa yang engkau getirkan sekarang pernah singgah di pikiranku saat
keputusan itu engkau sampaikan lalu dua bulan kemudian terikrar dalam sebuah
janji sakral dan suci
Aku
memang tidak seberani dirimu, perempuan yang mengakhiri petualangan kesendiriannya di usia kita yang hanya terpaut sebulan. Sedang aku masih menikmati kesendirian menjelang 27 tahun, yang bagi sebagian orang menganggapnya cukup matang
Dan aku tak berkemampuan lebih dalam menghentikan air matamu, atau sejenak menenangkan hatimu mengusir kegelisahan yang mendera. Sebab aku sangat buta menyangkut permasalahan sepasang insan dengan ikatan cincin pernikahan, yang memang belum pernah kujalani. Bagiku apa yang engkau hadapi justru menjadi ketakutan
"Ternyata
dia tidak sesabar yang kulihat
Ternyata
dia pemarah
Dia
sering lalai dari kewajibannya
Ternyata
dia keras kepala
Ternyata
dia pemalas
Ternyata
dia kasar
Ternyata dia tega memukulku…"
Ternyata dia tega memukulku…"
“Dan
ternyata”….berulang kudengar di antara mata yang berair masih menahan
kekesalan
Sob…
Memang
begitulah jika masih bernama makhluk. Semakin lebih dekat mengenalnya makin
banyak kekecewaan. Awalnya mungkin saja ia sosok sempurna di sisi bagian mata
dan pikiranmu. Namun seiring waktu dan langkahmu bersamanya ada saja kerikil
yang menyambar membuatmu berubah pikiran tentang “ukuran” kesempurnaan bergeser
ke zona tak menyenangkan
Berbeda
dengan engkau mengenal sang Pencipta…semakin kita dekat mengenal-Nya, Ia makin sempurna dan jauh dari kekecewaan.
Maka dekatilah Dia, akrabilah Dia, sebab kesempurnaan sejati yang tidak mengecewakan hanya ada
pada-Nya. Sampaikan rintik kekecewanmu hari ini pada-Nya dan pasrahkan sepenuhnya.
26 Juli,
Warkop Jurnalis
Antara Perubahan dan Anggapan Inkonsistensi
Dan tulisan
ini yang kesekian kalinya. Di tengah kebisuanku menengadah memohon agar apa
yang kuyakini saat ini, agar langkah ini tidak berbelok jika tertusuk duri yang
pasti menghadang.
Jika saja
setiap prinsip manusia sama menyikapi perbedaan. Bijak menerima ketidaksamaan,
bersedia berdialog dengan ketidaksempurnaan. Dan ahh…kata Gibran dunia tidak
akan berubah hingga bahasa diubah menjadi tujuh kata menjadi sangat nyata
Tapi haruskah
memaksakan kebenaran berdasarkan anggapan diri sendiri, lantas apakah penilaian
orang lain dengan pikiran dan sisi pandangnya menjadi salah??
Kamar
Lajang, 26 Juli 2013
Nasihat Untuk Diri Sendiri
Menjadi karang-lah,
meski tidak mudah. Sebab ia ’kan menahan sengat binar mentari yang garang.
Sebab ia ‘kan kukuh halangi deru ombak yang kuat menerpa tanpa kenal lelah.
Sebab ia ‘kan melawan bayu yang keras menghembus dan menerpa dengan dingin yang
coba membekukan. Sebab ia ‘kan menahan hempas badai yang datang menggerus
terus-menerus dan coba melemahkan keteguhannya. Sebab ia ‘kan berdiri tegak
berhari-hari,hujamkan akar yang kuat bertahun-tahun, berabad-abad tanpa rasa
jemu dan bosan.
Menjadi pohon-lah yang tinggi menjulang, meski tidak mudah. Sebab ia ‘kan tetap tegar meski bara mentari yang terus menyala setiap siangnya. Sebab ia’kan meliuk halangi angin yang bertiup kasar. Sebab ia ‘kan terus menjejak bumi hadapi gemuruh sang petir. Sebab ia ‘kan hujamkan akar yang kuat untuk menopang. Sebab ia ‘kan menahan gempita hujan yang coba merubuhkan. Sebab ia ‘kan senantiasa berikan bebuahan yang manis dan mengenyangkan. Sebab ia ‘kan berikan tempat berlindung dengan rindang daun-daunnya.
Menjadi paus-lah, meski itu tidak mudah. Sebab dengan sedikit kecipaknya, ia akan menggetarkan ujung samudera. Sebab besar tubuhnya ‘kan menakutkan musuh yang coba mengganggu. Sebab sikap diamnya akan membuat tenang laut dan seisinya.
Menjadi elang-lah, dengan segala kejantanannya, meski itu juga tidak mudah. Sebab ia harus melayang tinggi menembus birunya langit. Sebab ia harus melanglang buana untuk mengenal medannya. Sebab ia harus melawan angin yang menerpa dari segala penjuru. Sebab ia harus kembali ke sarang dengan makanan di paruhnya. Sebab ia harus menukik tajam mencengkeram mangsa. Sebab ia harus menjelajah cakrawala dengan kepak sayap yang membentang gagah.
Menjadi melati-lah, meski tampak tak bermakna. Sebab ia ‘kan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia begitu putih, seolah tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi angin dengan mungil tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah rendah diri pada anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni. Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya.
Menjadi mutiara-lah, meski itu tak mudah. Sebab ia berada di dasar samudera yang dalam. Sebab ia begitu sulit dijangkau oleh tangan-tangan manusia. Sebab ia begitu berharga. Sebab ia begitu indah dipandang mata. Sebab ia tetap bersinar meski tenggelam di kubangan yang hitam.
Menjadi kupu-kupulah, meski itu tak mudah pula. Sebab ia harus melewati proses-proses sulit sebelum dirinya saat ini. Sebab ia lalui semedi panjang tanpa rasa bosan. Sebab ia bersembunyi dan menahan diri daris egala yang menyenangkan, hingga kemudian tiba saat untuk keluar.
Karang akan hadapi hujan, terik sinar mentari, badai, juga gelombang. Elang akan menembus lapis langit langit, mengangkasa jauh, melayang tinggi dan tak pernah lelah untuk terus mengembara dengan bentangan sayapnya. Paus akan mengetarkan samudera hanya dengan sedikit gerakan. Pohon akan hadapi petir, deras hujan, selau matahari, namun selalu berusaha menaungi. Melati ikhlas ‘tuk selalu menerima keadaaanya, meski tak terhitung pula bunga-bunga lain dengan segala kecantikannya. Kupu-kupu berusaha bertahan, meski penat lingkungan mengepungnya di kiri-kanan, depan dan belakang.
Tapi karang menjadi kokok dengans egala ujian. Elang menjadi tangguh, tak hiraukan lelah tatkala terbang melintasi mermilyar kilo bentang cakrawala. Paus menjadi kuat dengan besar tubuhnya dalam luas samudera. Pohon tetap menjadi naungan meski ia hadapi beribu gangguan. Melati menjadi bijak dengan dada yang lapang, dan justru terlihat indah dengan segala kesederhanaan. Mutiara tetap bersinar dimanapun ia berada. Kupu-kupu hadapi cerah dunia meskipun lalui perjuangan panjang dalam kesendirian.
Menjadi apapun dirimu…, bersyukurlah selalu. Sebab kau yang paling tahu siapa dirimu. Sebab kau yakini kekuatanmu. Sebab kau sadari kelemahanmu. Jadilah karang yang kokoh, elang yang perkasa, paus yang besar, pohon yang menjulang dengan akar menghujam, melati yang senantiasa mewangi, mutiara yang indah, kupu-kupu atau apapun yang kau mau. Tapi, tetaplah sadari kehambaanmu…
Kamar diam, 090909
Langganan:
Postingan (Atom)