Sejenak terkesima membaca pesan elektronik dari
seorang teman yang sedang menyelesaikan studinya di Yaman. Kulirik ponsel yang
sedari tadi kudiamkan, indikator user namenya hijau, pertanda dia
sedang online. Kucoba menyapanya mengucapkan salam
“Ied Mubarak akhi…kullu ‘am wa antum bikhoir”
Lima menit kemudian dijawabnya pesanku. Kuajak dia berdialog tentang suasana Lebaran di sana. Dikirimkannnya pesan emotion crying yang
membuatku mengernyitkan dahi. Sejenak dalam benakku terpikir ia sedang
merindukan tanah air, sama seperti aku yang merantau jauh dari keluarga, 12
tahun terakhir tidak pernah berkumpul dalam suasana Lebaran. Pulang sesekali
dalam suasana bukan Lebaran seperti saat ini
“Limadza?” (kenapa) balasku
“Suasana Ied di sini mengharukan.” Suasana
konflik kemanusiaan yang terjadi di daerah itu membawaku pada ceritanya.
“Jangan membayangkan makanan melimpah,
sebagaimana kerap terjadi di tanah air. Hampir tak ada bedanya hari biasa
dengan hari raya. Sedih bukan karena merindukan opor ayam atau ketupat khas
Lebaran di Jepara, tapi karena tamparan keras dari mata hingga ubun-ubunku”
Lalu?
“Aku baru saja kena tamparan keras melihat
saudara-saudara di sini tetap tersenyum dengan rekahan hati di hari yang hanya
sekali setahun, hari besar yang kalau di tanah air sangat dekat dengan
kemubadziran.” Kisahnya
Ehm…
“Kamu lagi dimana?” balasnya padaku
“Di kost...”
“Gak pulang ke Solo?” jawabnya lagi.”
“Ehm…gak. Merenung di kost saja lebih indah dan
menyejukkan. Tadi selepas sholat Ied aku liputan dan menyaksikan warga di Medan
berkumpul bersama keluarganya. Sangat hangat, dimana-mana senyum ceria. Dan aku
tidak punya tempat untuk merayakannya kecuali di kost 5x5 meter ini…”
“Tadinya aku merasakan apa yang kamu rasakan. Ingin
rasanya terbang melompat kembali ke Jepara, kembali ke pelukan ayah dan ibu. Tapi
ternyata melihat ketegaran dan kekukuhan
saudara-saudara di sini, kebersamaan mereka, kehangatan yang timbul bukan dari
keluarga dan kerabat mereka, ternyata jauh lebih memberi tamparan keras. Tak ada
kue kering balutan mentega, atau bolu yang akan kita lihat seminggu ke depan…”
“Hanya ada beberapa kilo jeruk dari kebun
sesepuh pendiri sekolah ini yang dibagikan kepada kami. Dan baru saja kami
menikmati santap siang bersama. Seekor domba peliharaan teman dari Damman
dihadiahkan untuk kami nikmati bersama, bayangkan satu domba ukuran sedang dibagi
untuk 100 orang...”
“Bayangan mewahnya merayakan Lebaran terlalu
tinggi di benakku. Saat kudapati serba kekurangan dan aku terhempas keras
melihat keadaanya nyata. Malu bersungut di tengah ketegaran mereka. Tak ada
rasa kekurangan, kebersamaan mereka di tengah air mata, darah, kehilangan
saudara, ibu, istri dan suami yang tidak mungkin disatukan lagi dalam Lebaran
mendatang itu yang membuat aku tertampar. Sungguh kebersamaan mereka saling
menghibur satu sama lain, saling berbagi di tengah kekurangan, mengorbankan domba peliharaan untuk 100 orang tidak akan terbeli materi, padahal ini bukan sedang Idul Adha. Dan kondisi ini yang ke tiga kalinya
saat Idul Fitri. Semua seperti menyadari, Lebaran bukan menjadikan kita sebagai
penganut agama musiman, taat di saat Ramadhan, tapi ingkar sesudah 1 Syawal…”
“Maafkan aku…aku yang tidak bersyukur. Terlalu terbawa
ke alam egoisentris di sini”. balasku
“Nanti kita sambung, aku dipanggil teman-teman. Mudah-mudahan
ada sisa makanan lain yang akan dibagi. Doakan aku segera diwisuda dan kembali
ke tanah air...”
“Ma’akan najah” (semoga sukses) balasku
Dzaki...bukan cuma kamu yang dapat tamparan
keras. Ya…aku juga tertohok dan hanya bisa terduduk di dinding kamarku
menyadari ketidak bersyukuranku membaca ceritamu. Kenapa harus menenggelamkan diri melihat
kebersamaan orang lain dengan keluarganya, merasa sedih sendiri, saat semua
rekan dan karib berkumpul bersama keluarganya? Akhhh….aku yang ingkar. Bukankah
aku punya shohib yang memberi ruang untuk sekedar melepas tawa dan
mendengar lelucon Lebaran lengkap dengan hidangan Lebarannya di rumah mereka? kenapa harus bermurung hanya karena tidak berkumpul dengan saudara sedarah, bukankah ini Lebaran ke sekian kalinya tanpa mereka??
Kamar diam 1 Syawal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar