Setitik Jejak Pena

gerututinta…

Sebut saja itu nama halaman ini, si penerus tahta singgasana dari blog sebelumnya. Leluhurnya bergelar CERUTUTIUP tutup usia terbunuh racun venomoria diretas para pemukim dunia maya.

Foto profil si penggerutu tinta sengaja tidak dipasang, bukan karena kehilangan identitas akibat wafatnya si cerututiup, tapi karena terlalu banyak julukan dari para shohib.

Yah…perkenalkan, sebagian shohib memanggilku Tulus, ada juga menyebut Almaidany, sebagian lagi memanggilku Uut. Nama belakangku Lubis, marga sekaligus identitas penting. Karena bukan sedang sensus, nomor KTP/ SIM atau passpor nampaknya tidak layak dicantumkan di sini :) yang pasti nama asli terselip pada nama halaman ini, so…terserah memanggil nama yang mana yang penting halal :)

Minggu, 11 Agustus 2013

Tamparan Keras di Hari Lebaran

Sejenak terkesima membaca pesan elektronik dari seorang teman yang sedang menyelesaikan studinya di Yaman. Kulirik ponsel yang sedari tadi kudiamkan, indikator user namenya hijau, pertanda dia sedang online. Kucoba menyapanya mengucapkan salam
“Ied Mubarak akhi…kullu ‘am wa antum bikhoir”

Lima menit kemudian dijawabnya pesanku. Kuajak dia berdialog tentang suasana Lebaran di sana. Dikirimkannnya pesan emotion crying yang membuatku mengernyitkan dahi. Sejenak dalam benakku terpikir ia sedang merindukan tanah air, sama seperti aku yang merantau jauh dari keluarga, 12 tahun terakhir tidak pernah berkumpul dalam suasana Lebaran. Pulang sesekali dalam suasana bukan Lebaran seperti saat ini

“Limadza?” (kenapa) balasku

“Suasana Ied di sini mengharukan.” Suasana konflik kemanusiaan yang terjadi di daerah itu membawaku pada ceritanya.
“Jangan membayangkan makanan melimpah, sebagaimana kerap terjadi di tanah air. Hampir tak ada bedanya hari biasa dengan hari raya. Sedih bukan karena merindukan opor ayam atau ketupat khas Lebaran di Jepara, tapi karena tamparan keras dari mata hingga ubun-ubunku”

Lalu?

“Aku baru saja kena tamparan keras melihat saudara-saudara di sini tetap tersenyum dengan rekahan hati di hari yang hanya sekali setahun, hari besar yang kalau di tanah air sangat dekat dengan kemubadziran.” Kisahnya
Ehm…
“Kamu lagi dimana?” balasnya padaku
“Di kost...”
“Gak pulang ke Solo?” jawabnya lagi.”
“Ehm…gak. Merenung di kost saja lebih indah dan menyejukkan. Tadi selepas sholat Ied aku liputan dan menyaksikan warga di Medan berkumpul bersama keluarganya. Sangat hangat, dimana-mana senyum ceria. Dan aku tidak punya tempat untuk merayakannya kecuali di kost 5x5 meter ini…”

“Tadinya aku merasakan apa yang kamu rasakan. Ingin rasanya terbang melompat kembali ke Jepara, kembali ke pelukan ayah dan ibu. Tapi  ternyata melihat ketegaran dan kekukuhan saudara-saudara di sini, kebersamaan mereka, kehangatan yang timbul bukan dari keluarga dan kerabat mereka, ternyata jauh lebih memberi tamparan keras. Tak ada kue kering balutan mentega, atau bolu yang akan kita lihat seminggu ke depan…”

“Hanya ada beberapa kilo jeruk dari kebun sesepuh pendiri sekolah ini yang dibagikan kepada kami. Dan baru saja kami menikmati santap siang bersama. Seekor domba peliharaan teman dari Damman dihadiahkan untuk kami nikmati bersama, bayangkan satu domba ukuran sedang dibagi untuk 100 orang...”

“Bayangan mewahnya merayakan Lebaran terlalu tinggi di benakku. Saat kudapati serba kekurangan dan aku terhempas keras melihat keadaanya nyata. Malu bersungut di tengah ketegaran mereka. Tak ada rasa kekurangan, kebersamaan mereka di tengah air mata, darah, kehilangan saudara, ibu, istri dan suami yang tidak mungkin disatukan lagi dalam Lebaran mendatang itu yang membuat aku tertampar. Sungguh kebersamaan mereka saling menghibur satu sama lain, saling berbagi di tengah kekurangan, mengorbankan domba peliharaan untuk 100 orang tidak akan terbeli materi, padahal ini bukan sedang Idul Adha. Dan kondisi ini yang ke tiga kalinya saat Idul Fitri. Semua seperti menyadari, Lebaran bukan menjadikan kita sebagai penganut agama musiman, taat di saat Ramadhan, tapi ingkar sesudah 1 Syawal…”

“Maafkan aku…aku yang tidak bersyukur. Terlalu terbawa ke alam egoisentris di sini”. balasku
“Nanti kita sambung, aku dipanggil teman-teman. Mudah-mudahan ada sisa makanan lain yang akan dibagi. Doakan aku segera diwisuda dan kembali ke tanah air...”

“Ma’akan najah” (semoga sukses) balasku

Dzaki...bukan cuma kamu yang dapat tamparan keras. Ya…aku juga tertohok dan hanya bisa terduduk di dinding kamarku menyadari ketidak bersyukuranku membaca ceritamu. Kenapa harus menenggelamkan diri melihat kebersamaan orang lain dengan keluarganya, merasa sedih sendiri, saat semua rekan dan karib berkumpul bersama keluarganya? Akhhh….aku yang ingkar. Bukankah aku punya shohib yang memberi ruang untuk sekedar melepas tawa dan mendengar lelucon Lebaran lengkap dengan hidangan Lebarannya di rumah mereka? kenapa harus bermurung hanya karena tidak berkumpul dengan saudara sedarah, bukankah ini Lebaran ke sekian kalinya tanpa mereka??

Kamar diam 1 Syawal

Tidak ada komentar: