Tegarlahhhh.
Satu kata yang terucap di akhir perbincangan malam ini. Terserahlah menyebutku
listener with no way out…Bagiku sementara waktu itulah jalan terbaik, berupaya menjadikan
tegar layaknya pondasi rumah
Silakan
juga menilai tulisan ini ungkapan rasa yang tak mengena dari semua pertanyaanmu.
Ini pun hanya mengembarakan jemari,
salah satu caraku menaklukkan lisan dari keluh dan kesah lantas beralashakkan sifat dasar makhluk bernama manusia adalah mengeluh…hahhhh
jawaban klasik
“Innal
insaana khuliqo khalu’a”(sesungguhnya manusia diciptakan berkeluh kesah) aku masih berpegangan ayat itu sebagai salah satu
penelur teori para psikolog tentang sifat naluriah makhluk bernama humanis,
tapi kelanjutan ayatnya sering tidak disebut mereka para pengeluh kesah….lagi-lagi
dalil pelegalan bersungut kan???
Terlalu
ekstrem jika harus menukil pendapat yang menyebut airmata adalah refleksi
kecengengan menjadi rambu forbidden agar tidak menumpahkannya, sepertinya aku
belum sekejam itu
Sedang
dalam pandangan medis air mata sangat dibutuhkan untuk menetralisir bola mata
dari debu dan sejenisnya. Aku tak paham jauh mengenai refleksi dari hati,
pikiran berpola konstruktif pengurai si air mata
Jadilah setegar karang |
Semoga
saranku tak engkau anggap kekonyolan, ketika memintamu menjatuhkan butir bening,
sekedar membasahi hati, membuang timbunan pengganjal ruang gerak kalbu. Itulah
caraku agar tak diam tanpa ekspresi
setelah membaca kabar dari seberang nan jauh di sana
Bukan
berarti hatiku tidak bersuara di kedalaman sana ingin berteriak berang
sekuatnya.
Tapi, kutumpulkan dalam tulisan ini duhai tertuaku. Tak apalah,
anggap saja aku membuat kekonyolan baru mememeras otak melontar aksara tanpa
kesimpulan menstimulus racun dalam darah
Hahaha,
biarkanlah aku tertawa sejenak. Aku hanya ingin menyimpulkannya berkali-kali,
menanamkan patrinya bak menempa symbol dengan besi api agar membekas dengan
baranya di kulit teratas tapak tangan
Namanya
bukan solusi tapi ijinkan aku mengingatkanmu, cahaya hanya akan terasa benderang
setelah menikmati kelamnya gelap gulita. Dingin hanya akan terasa nikmat
setelah suhu panas membakar ubun-ubun
Dan
gula hanya akan terasa manis saat mengecap pahit di ujung belakang lidah. Kali
ini bukan teori, sekali lagi hanya dasar perempumaan dari seorang perempuan
termudamu wahai sedarahku
Ingatlah,
gula tidak akan manis di lidah setelah menelan madu
dan
obor tak ubahnya penerang dari api unggun
absolutkah
merajut tirai jika hanya meneruskan rajutannya? Sedang di depan sana roda
berputar dan limpahannnya menghampakan abadi bagi pemegangnya.
Bukankah baik gulita dan si pahit disingkirkan dari hidup menghindar dari awal perjalanan? ya, lagi-lagi berdasarkan teori
pembelaan bernama naluri alasan pamungkas membenarkan diri rapuh terpuruk. “Hukum
mutlak alam salah satunya kesenangan selalu terpilih dibanding kesusahan” ya….aku
mengerti maksudmu. Tapi jika kesenangan itu belum menghampiri, adilkah
menetapkan sikap bukan pada tempatnya? Jika mengandalkan ini tentu kuhalalkan
segala cara meraih sebagian hidupku yang kalian gagalkan bukan?
Sulit, tapi
harus menikmatinya menjadi keniscayaan, jika ingin menyebut setitik cahaya namun menyirari kegelapan dengan benderang
Tangga
ini bukan hanya milik kita, tapi juga kediaman berkerikil oleh meraka yang
dimuliakan umat manusia. Nabi saja tak pernah diutus lengkap dengan kemulian yang
membersamainya. Bukankah mereka juga dihina, bahkan dijatuhi hukuman sosial para penguasa pada zamannya?
Memang
tak adil perumpaanku membandingkan hidup mereka dengan kita manusia biasa.
Liriklah nelangsa, tentu tidak begitu saja mereka diagungkan turun temurun tanpa melewati onak dan duri. Sederhanakanlah menjadi tiga kata: belajar
menikmati proses
Sebab
takkan indah hidup mereka yang tak mengecap pedih. Jika satu saat tubuhnya
tergores sembilu tentu lebih pedih dibanding lara dari luka di atas luka
Inilah
yang terbaik, ujian tanpa belajar yang diberikan-Nya tak ternilai. Ingatlah
biasanya kabut tak berpanjangan, setelah kabut berlalu pasti cerah kembali….ijin
mengutip syair Arqom
Kelak
mungkin saja kita tersenyum mengingat kesusahan hari ini, lalu
berkata, “Terima kasih ya Allah, Engkau memberiku pelajaran agar aku menjadi ini itu, tidak begini begitu"
Semoga
aku tidak sedang mengajari tupai melompat, melatih ikan berenang atau menggarami air
laut
Jelang 1 Syawal 1434 H, Just for
us @lubis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar