Setitik Jejak Pena

gerututinta…

Sebut saja itu nama halaman ini, si penerus tahta singgasana dari blog sebelumnya. Leluhurnya bergelar CERUTUTIUP tutup usia terbunuh racun venomoria diretas para pemukim dunia maya.

Foto profil si penggerutu tinta sengaja tidak dipasang, bukan karena kehilangan identitas akibat wafatnya si cerututiup, tapi karena terlalu banyak julukan dari para shohib.

Yah…perkenalkan, sebagian shohib memanggilku Tulus, ada juga menyebut Almaidany, sebagian lagi memanggilku Uut. Nama belakangku Lubis, marga sekaligus identitas penting. Karena bukan sedang sensus, nomor KTP/ SIM atau passpor nampaknya tidak layak dicantumkan di sini :) yang pasti nama asli terselip pada nama halaman ini, so…terserah memanggil nama yang mana yang penting halal :)

Minggu, 04 Agustus 2013

Manusia dan Keluh Kesahnya


Tegarlahhhh. Satu kata yang terucap di akhir perbincangan malam ini. Terserahlah menyebutku listener with no way out…Bagiku sementara waktu itulah jalan terbaik, berupaya menjadikan tegar layaknya pondasi rumah

Silakan juga menilai tulisan ini ungkapan rasa yang tak mengena dari semua pertanyaanmu. Ini pun hanya  mengembarakan jemari, salah satu caraku menaklukkan lisan dari keluh dan kesah lantas beralashakkan sifat  dasar makhluk bernama manusia adalah mengeluh…hahhhh jawaban klasik

“Innal insaana khuliqo khalu’a”(sesungguhnya manusia diciptakan berkeluh kesah) aku masih berpegangan ayat itu sebagai salah satu penelur teori para psikolog tentang sifat naluriah makhluk bernama humanis, tapi kelanjutan ayatnya sering tidak disebut mereka para pengeluh kesah….lagi-lagi dalil pelegalan bersungut kan???

Terlalu ekstrem jika harus menukil pendapat yang menyebut airmata adalah refleksi kecengengan menjadi rambu forbidden agar tidak menumpahkannya, sepertinya aku belum sekejam itu

Sedang dalam pandangan medis air mata sangat dibutuhkan untuk menetralisir bola mata dari debu dan sejenisnya. Aku tak paham jauh mengenai refleksi dari hati, pikiran berpola konstruktif pengurai si air mata
Jadilah setegar karang

Semoga saranku tak engkau anggap kekonyolan,  ketika memintamu menjatuhkan butir bening, sekedar membasahi hati, membuang timbunan pengganjal ruang gerak kalbu. Itulah caraku agar tak  diam tanpa ekspresi setelah membaca kabar dari seberang nan jauh di sana
Bukan berarti hatiku tidak bersuara di kedalaman sana ingin berteriak berang sekuatnya.

Tapi, kutumpulkan dalam tulisan ini duhai tertuaku. Tak apalah, anggap saja aku membuat kekonyolan baru mememeras otak melontar aksara tanpa kesimpulan menstimulus racun dalam darah

Hahaha, biarkanlah aku tertawa sejenak. Aku hanya ingin menyimpulkannya berkali-kali, menanamkan patrinya bak menempa symbol dengan besi api agar membekas dengan baranya di kulit teratas tapak tangan

Namanya bukan solusi tapi ijinkan aku mengingatkanmu, cahaya hanya akan terasa benderang setelah menikmati kelamnya gelap gulita. Dingin hanya akan terasa nikmat setelah suhu panas membakar ubun-ubun

Dan gula hanya akan terasa manis saat mengecap pahit di ujung belakang lidah. Kali ini bukan teori, sekali lagi hanya dasar perempumaan dari seorang perempuan termudamu wahai sedarahku

Ingatlah, gula tidak akan manis di lidah setelah menelan madu
dan obor tak ubahnya penerang dari api unggun
absolutkah merajut tirai jika hanya meneruskan rajutannya? Sedang di depan sana roda berputar dan limpahannnya menghampakan abadi bagi pemegangnya.

Bukankah baik gulita dan si pahit disingkirkan dari hidup menghindar dari awal perjalanan? ya, lagi-lagi berdasarkan teori pembelaan bernama naluri alasan pamungkas membenarkan diri rapuh terpuruk. “Hukum mutlak alam salah satunya kesenangan selalu terpilih dibanding kesusahan” ya….aku mengerti maksudmu. Tapi jika kesenangan itu belum menghampiri, adilkah menetapkan sikap bukan pada tempatnya? Jika mengandalkan ini tentu kuhalalkan segala cara meraih sebagian hidupku yang kalian gagalkan bukan?

Sulit, tapi harus menikmatinya  menjadi keniscayaan, jika ingin menyebut setitik cahaya namun menyirari kegelapan dengan benderang

Tangga ini bukan hanya milik kita, tapi juga  kediaman berkerikil oleh meraka yang dimuliakan umat manusia. Nabi saja tak pernah diutus lengkap dengan kemulian yang membersamainya. Bukankah mereka juga dihina, bahkan dijatuhi hukuman sosial para penguasa pada zamannya?

Memang tak adil perumpaanku membandingkan hidup mereka dengan kita manusia biasa. Liriklah nelangsa, tentu tidak begitu saja mereka diagungkan turun temurun tanpa melewati onak dan duri. Sederhanakanlah  menjadi tiga kata: belajar menikmati proses


Sebab takkan indah hidup mereka yang tak mengecap pedih. Jika satu saat tubuhnya tergores sembilu tentu lebih pedih dibanding lara dari luka di atas luka
Inilah yang terbaik, ujian tanpa belajar yang diberikan-Nya tak ternilai. Ingatlah biasanya kabut tak berpanjangan, setelah kabut berlalu pasti cerah kembali….ijin mengutip syair Arqom

Kelak mungkin saja kita tersenyum mengingat kesusahan hari ini, lalu berkata, “Terima kasih ya Allah, Engkau memberiku pelajaran agar aku menjadi ini itu, tidak begini begitu"
Semoga aku tidak sedang mengajari tupai melompat, melatih ikan berenang atau menggarami air laut
Jelang 1 Syawal 1434 H, Just for us @lubis

Tidak ada komentar: