Setitik Jejak Pena

gerututinta…

Sebut saja itu nama halaman ini, si penerus tahta singgasana dari blog sebelumnya. Leluhurnya bergelar CERUTUTIUP tutup usia terbunuh racun venomoria diretas para pemukim dunia maya.

Foto profil si penggerutu tinta sengaja tidak dipasang, bukan karena kehilangan identitas akibat wafatnya si cerututiup, tapi karena terlalu banyak julukan dari para shohib.

Yah…perkenalkan, sebagian shohib memanggilku Tulus, ada juga menyebut Almaidany, sebagian lagi memanggilku Uut. Nama belakangku Lubis, marga sekaligus identitas penting. Karena bukan sedang sensus, nomor KTP/ SIM atau passpor nampaknya tidak layak dicantumkan di sini :) yang pasti nama asli terselip pada nama halaman ini, so…terserah memanggil nama yang mana yang penting halal :)

Sabtu, 03 Agustus 2013

Saat Identitasku jadi Komuditas Politik


Marga dan silsilah adalah identitas tak terpisahkan dari suku Batak. Secara kultur asal usul marga Batak berasal dari nama kemudian turun menurun menjadi marga. Marga merupakan identitas tak tertulis daerah asal pemiliknya, yaitu menunjukkan letak geografis tanah kelahiran serta garis keturunan. Dalam perjalanannya marga kerap menjadi komuditas politik menjelang pemilu, pemilukada atau pileg seperti saat ini. Tujuannya tidak lebih agar dipilih, didukung oleh saudara semarga yang disandangnya. Sebab ikatan emosional persaudaraan marga Batak memang dianggap kuat

Falsafah Dalihan Na Tolu (tungku berkaki tiga) sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara semarga, hulahula dan boru, tentu saja akarnya marga. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur itu. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu…(hehehe masih single)

Sungguh sangat malu saat menyebut marga setelah nama, tanpa dapat mempertanggungjawabkannnya lewat pengenalan tarombo (silsilah marga red). Perasaan ini timbul saat pertama kali menginjakkan kaki kembali di tanah kelahiran setelah lama merantau di pulau seberang, mulai lulus sekolah dasar hingga lulus kuliah

Hingga kini beberapa kans budaya Batak masih dianggap kontraversi terutama menyangkut paham keagamaan. Bahkan beberapa puak atau sub-etnis suku Batak justru tak ingin disebut sebagai orang Batak. Batak terdiri dari beberapa sub etnis antara lain Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Batak Toba lebih dikenal identik dengan Batak secara umum (kurang sosialisasi atau karena apa nih?)

Seperti halnya Lubis. Sebagian marga Lubis asal Mandailing Natal tidak setuju jika disebut orang Batak. Namun jika menelaah kembali asal muasal Lubis, tentu harus mengulas keberadaan Lubis bagaimana bisa bermukim di suatu tempat misalnya Garoga, Tapanuli Utara atau Parsoburan, Toba Samosir. Urutan clan (induk) juga sangat mempengaruhi refrensi sejarah asal usul, Lubis dari Mandailing ataukah Lubis dari Toba. Dalam hal ini saya Lubis asal Kotanopan Mandailing Natal beranggapan Lubis adalah Batak (maaf bagi yang tidak setuju). Dan kesimpulan ini saya dapati setelah mempelajari tarombo Lubis dari induknya bergelar Si Raja Borbor dan Sangmaima 

Tarombo (silsilah Batak). Lumayan rumit menghapalnya tapi asyik :)

Dan itu saja tidak cukup, Lubis masih punya saudara serumpun yang dipantangkan berpasangan karena runut persaudaraan marga diibaratkan menikah dengan saudara sekandung. Melanggarnya berarti tidak menghargai padan para leluhur. 

Lubis keturunan Raja Borbor Marsada bersaudara dengan Pasaribu, Sipahutar, Harahap, Manik, Tarihoran, Tanjung, Batubara, Malau, Matondang, Sagala, Limbong, Ambarita, Gurning, Habeahan, Saruksuk, Pulungan, Hutasuhut dll…(maaf tak semua disebutkan disini)...
Sedang jika ditilik dari sudut agama, ikatan marga sebenarnya tidaklah mengharamkan pernikahan semarga maupun serumpunnya. Namun sebagian besar di tanah Batak memang masih sangat berpegang teguh dengan adat maka tidak heran ada anggapan pernikahan semarga adalah hubungan incest. Dan keyakinan ini akan sangat bertolak belakang dengan paham agama. Ringkasnya kalau ingin adat jangan bicara agama, kalau ingin bicara agama jangan bicara adat.

Ya, memang tidak dapat dipungkiri ini kerap menjadi akar permasalahan yang berakhir pada hukuman sosial  bagi pelaku yang dianggap mengingkarinya terutama jika masih bermukim di daerah yang masih berpegang teguh pada adat istiadat

Di sisi lain sejarah juga tidak lupa akan keberadaan Ingwer Ludwig Nommensen, sebagai penginjil pertama di tanah Batak(1863) sekaligus cikal bakal berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) gereja Kristen terbesar di Asia Tenggara dengan tiga juta jemaat. berdirinya GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia) juga tidak lepas dari sejarah berdirinya HKBP

Sayangnya marga sebagai unsur utama budaya Batak belakangan dijualbeli atau digelarkan kepada sejumlah orang yang dianggap berperan secara politik dan kekuasaan. Dalam metodologi Batak, pemberian marga sah-sah saja dilakukan melalui ritual khusus. Dengan menyandang marga tertentu di belakang nama, harusnya ikatan emosional persaudaraan lebih terasa erat jika berpedoman pada Dalihan Na Tolu, ini jika pemberian marga pada si penerima gelar benar-benar terarah berdasarkan dedikasinya, serta terbukti konsisten dengan identitas barunya itu. Seperti yang terjadi sebelumnya penganugerahan marga hanya sesaat, setelah berkuasa marga ditanggalkan begitu saja

Yang menjadi permasalahan lanjut adalah ketika sang pejabat atau politikus mampir ke suatu daerah, lalu terjadi komersialisasi marga hanya untuk meraup suara dan dukungan politik. Selanjutnya di daerah lain yang masih dalam sub etnis atau puak Batak juga digelari marga lagi, sebut saja digelari Lubis di daerah Parsoburan, Toba Samosir kemudian digelari lagi marga Bangun di tanah Karo, lalu ditambah lagi marga Purba di Simalungun…(alamak...satu orang bermarga lebih dari satu)

Sebagai orang yang mempelajari tarombo (silsilah-red) marga dengan sangat bersusah payah, saya sangat menolak pemberian gelar marga apalagi ditambah gelar Raja dari marga yang dianugerahkan. Sebab pemegangnya belum tentu menghargai sejarah identitas silsisilah marga pemberian itu. apalagi kalau sang “Raja” ternyata buta aksara Batak atau huruf Batak. Dan kemusykilan ini makin nyata sekarang ini, hanya segelintir dari mereka yang mengaku Batak mengenali aksara Batak maupun Umpasa (pantun Batak). Dan hanya tinggal hitungan jari yang mengerti bahasa Andung (bahasa Batak halus)
 
Aksara Batak< salah satu aksara tertua di dunia

Sesungguhnya mahalnya nilai identitas budaya ditentukan oleh pemilik budaya itu sendiri. Semoga tak ada jual beli marga lagi untuk kepentingan politis. Saya bangga dengan identitas ini, dan masih mempertahankan aksara Batak untuk keperluan persandian pribadi. Hanya saja hata Andung kurang terpelihara sebab lingkungan tidak mengijinkan….
Aupe Batak do Bah....hahahaha

Kombur jurnalis Lubis/ Warkop jurnalis 2 Agustus 2013


Tidak ada komentar: