Marga dan silsilah adalah
identitas tak terpisahkan dari suku Batak. Secara kultur asal usul marga Batak
berasal dari nama kemudian turun menurun menjadi marga. Marga merupakan
identitas tak tertulis daerah asal pemiliknya, yaitu menunjukkan letak geografis
tanah kelahiran serta garis keturunan. Dalam perjalanannya marga kerap menjadi
komuditas politik menjelang pemilu, pemilukada atau pileg seperti saat ini.
Tujuannya tidak lebih agar dipilih, didukung oleh saudara semarga yang
disandangnya. Sebab ikatan emosional persaudaraan marga Batak memang dianggap
kuat
Falsafah Dalihan Na
Tolu (tungku
berkaki tiga) sangat
membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut
rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Inilah yang
dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara
sesama yang bersaudara semarga, hulahula dan
boru, tentu saja akarnya marga. Perlu
keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur itu. Untuk menjaga keseimbangan
tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula,
pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu…(hehehe masih single)
Sungguh sangat malu saat
menyebut marga setelah nama, tanpa dapat mempertanggungjawabkannnya lewat
pengenalan tarombo (silsilah marga red). Perasaan ini timbul saat pertama kali
menginjakkan kaki kembali di tanah kelahiran setelah lama merantau di pulau
seberang, mulai lulus sekolah dasar hingga lulus kuliah
Hingga kini beberapa kans
budaya Batak masih dianggap kontraversi terutama menyangkut paham keagamaan.
Bahkan beberapa puak atau sub-etnis suku Batak justru tak ingin disebut sebagai
orang Batak. Batak terdiri dari beberapa sub etnis antara lain Toba,
Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Batak Toba lebih dikenal
identik dengan Batak secara umum (kurang sosialisasi atau karena apa nih?)
Seperti halnya Lubis. Sebagian
marga Lubis asal Mandailing Natal tidak setuju jika disebut orang Batak. Namun
jika menelaah kembali asal muasal Lubis, tentu harus mengulas keberadaan Lubis
bagaimana bisa bermukim di suatu tempat misalnya Garoga, Tapanuli Utara
atau Parsoburan, Toba Samosir. Urutan clan (induk) juga sangat mempengaruhi
refrensi sejarah asal usul, Lubis dari Mandailing ataukah Lubis dari Toba.
Dalam hal ini saya Lubis asal Kotanopan Mandailing Natal beranggapan Lubis
adalah Batak (maaf bagi yang tidak setuju). Dan kesimpulan ini saya dapati
setelah mempelajari tarombo Lubis dari induknya bergelar Si Raja Borbor dan
Sangmaima
Tarombo (silsilah Batak). Lumayan rumit menghapalnya tapi asyik :) |
Dan itu saja tidak cukup, Lubis
masih punya saudara serumpun yang dipantangkan berpasangan karena runut
persaudaraan marga diibaratkan menikah dengan saudara sekandung. Melanggarnya
berarti tidak menghargai padan para leluhur.
Lubis keturunan Raja Borbor
Marsada bersaudara dengan Pasaribu, Sipahutar, Harahap, Manik, Tarihoran,
Tanjung, Batubara, Malau, Matondang, Sagala, Limbong, Ambarita, Gurning,
Habeahan, Saruksuk, Pulungan, Hutasuhut dll…(maaf tak semua disebutkan
disini)...
Sedang jika ditilik dari sudut
agama, ikatan marga sebenarnya tidaklah mengharamkan pernikahan semarga maupun
serumpunnya. Namun sebagian besar di tanah Batak memang masih sangat berpegang
teguh dengan adat maka tidak heran ada anggapan pernikahan semarga adalah
hubungan incest. Dan keyakinan ini akan sangat bertolak belakang dengan
paham agama. Ringkasnya kalau ingin adat jangan bicara agama, kalau ingin
bicara agama jangan bicara adat.
Ya, memang tidak dapat
dipungkiri ini kerap menjadi akar permasalahan yang berakhir pada hukuman
sosial bagi pelaku yang dianggap mengingkarinya terutama jika masih
bermukim di daerah yang masih berpegang teguh pada adat istiadat
Di sisi lain sejarah juga
tidak lupa akan keberadaan Ingwer Ludwig Nommensen, sebagai penginjil pertama di tanah Batak(1863)
sekaligus cikal bakal berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) gereja
Kristen terbesar di Asia Tenggara dengan tiga juta jemaat. berdirinya GKPI
(Gereja Kristen Protestan Indonesia) juga tidak lepas dari sejarah berdirinya
HKBP
Sayangnya marga sebagai unsur
utama budaya Batak belakangan dijualbeli atau digelarkan kepada sejumlah orang
yang dianggap berperan secara politik dan kekuasaan. Dalam metodologi Batak, pemberian marga
sah-sah saja dilakukan melalui ritual khusus. Dengan menyandang marga tertentu di
belakang nama, harusnya ikatan emosional persaudaraan lebih terasa erat jika
berpedoman pada Dalihan Na Tolu, ini jika pemberian marga pada si penerima
gelar benar-benar terarah berdasarkan dedikasinya, serta terbukti konsisten
dengan identitas barunya itu. Seperti yang terjadi sebelumnya penganugerahan marga hanya sesaat, setelah berkuasa marga ditanggalkan begitu saja
Yang menjadi permasalahan
lanjut adalah ketika sang pejabat atau politikus mampir ke suatu daerah, lalu
terjadi komersialisasi marga hanya untuk meraup suara dan dukungan politik. Selanjutnya di daerah lain yang masih dalam sub etnis atau puak Batak
juga digelari marga lagi, sebut saja digelari Lubis di daerah Parsoburan, Toba
Samosir kemudian digelari lagi marga Bangun di tanah Karo, lalu ditambah lagi
marga Purba di Simalungun…(alamak...satu orang bermarga lebih dari satu)
Sebagai orang yang mempelajari
tarombo (silsilah-red) marga dengan sangat bersusah payah, saya sangat menolak
pemberian gelar marga apalagi ditambah gelar Raja dari marga yang dianugerahkan.
Sebab pemegangnya belum tentu menghargai sejarah identitas silsisilah marga
pemberian itu. apalagi kalau sang “Raja” ternyata buta aksara Batak atau huruf
Batak. Dan kemusykilan ini makin nyata sekarang ini, hanya segelintir dari
mereka yang mengaku Batak mengenali aksara Batak maupun Umpasa (pantun Batak).
Dan hanya tinggal hitungan jari yang mengerti bahasa Andung (bahasa Batak halus)
Sesungguhnya mahalnya nilai
identitas budaya ditentukan oleh pemilik budaya itu sendiri. Semoga tak ada
jual beli marga lagi untuk kepentingan politis. Saya bangga dengan identitas
ini, dan masih mempertahankan aksara Batak untuk keperluan persandian pribadi.
Hanya saja hata Andung kurang terpelihara sebab lingkungan tidak mengijinkan….
Aupe Batak do Bah....hahahaha
Kombur jurnalis Lubis/ Warkop
jurnalis 2 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar